HKI Diduga Abai Pengawasan: Pengakuan Humas CV KPA Soal APD Berbayar dan Skema Potongan Upah Picu Desakan Evaluasi Menyeluruh Vendor Tol Pekanbaru

Pekanbaru, 11 Desember 2025 — Rangkaian peristiwa yang mengguncang proyek strategis nasional Jalan Tol Lingkar Pekanbaru kembali menelanjangi lemahnya pengawasan, buruknya kultur keselamatan, dan kaburnya akuntabilitas para vendor yang bekerja di bawah PT Hutama Karya Infrastruktur (HKI). Setelah publik dikejutkan oleh tewasnya seorang pekerja vendor PT AMSK pada 20 November 2025 di Zona 3 Sungai Siak, kini temuan investigatif tim media terhadap vendor lain, CV KPA, membuka fakta baru yang jauh lebih kelam dan sistemik: dugaan pelanggaran ketenagakerjaan, prosedur kerja tanpa standar K3, hingga pola manajerial yang berjalan di luar norma perusahaan konstruksi profesional.

 

Konfirmasi yang dilakukan tim media pada 8 Desember 2025 terhadap pimpinan CV KPA, Vondy Pramana, justru menciptakan kejanggalan berlapis. Selang beberapa jam setelah konfirmasi resmi diajukan, muncul seseorang bernama Indra Lesmana yang mengaku sebagai Humas CV KPA, meminta agar pemberitaan ditahan sementara tanpa memberikan dasar struktural maupun otoritas yang jelas. Manuver ini memicu pertanyaan serius mengenai tata kelola internal perusahaan yang terkesan tidak terstruktur dan penuh kabut.

 

Pertemuan tatap muka yang akhirnya dilakukan di sebuah kafe Jalan Riau, Pekanbaru, semakin membuka ruang gelap yang sebelumnya tersembunyi. Dengan mengenakan pakaian safety lapangan warna biru seolah ingin membuktikan legitimasi dirinya, Indra Lesmana duduk berhadapan dengan tim media Kupaskabar.com, Gohukrim.com, dan platform lain, serta memberi persetujuan penuh untuk direkam dalam video dan audio. Namun dari percakapan inilah, CV KPA justru tergelincir pada pengakuan yang meletakkan diri mereka di hadapan dugaan pelanggaran serius.

 

Indra membenarkan bahwa enam pekerja telah berhenti bekerja setelah mengalami serangkaian perlakuan tidak profesional dan tidak manusiawi. Keluhan berawal dari kewajiban membeli APD melalui pihak yang disebut sebagai pendor CV KPA, hingga janji pemotongan upah sebagai skema “pinjaman”, seakan standar K3 adalah barang dagangan dan bukan kewajiban perusahaan. Para pekerja bahkan bekerja enam hari tanpa menerima gaji, hanya diberi pinjaman Rp1.500.000 untuk dibagi enam orang—angka yang menggambarkan betapa jauhnya realitas di lapangan dari standar industri konstruksi yang layak.

 

Lebih jauh, percakapan yang terekam mengungkap bahwa pekerja hanya menerima upah Rp35.000 per tiang, sementara Rp10.000 lainnya dipotong oleh Saiful, pihak ketiga tanpa kontrak resmi, yang disebut sebagai pembawa pekerja tetapi menjalankan operasional tanpa dasar legal. Potongan yang tidak pernah dijelaskan secara tertulis itu kerap dibalut istilah “ucapan terima kasih”, sebuah praktik yang di dunia konstruksi kerap menjadi sinonim pungutan liar berkedok tradisi.

 

Para pekerja juga mengungkap perubahan gambar kerja yang diberikan secara mendadak, memaksa mereka menggali ulang lubang yang sudah sesuai arahan awal. Semua revisi berlangsung tanpa tambahan waktu dan tanpa pembayaran penuh. Mereka dipaksa mengejar target dengan standar teknis yang berubah-ubah, sementara sistem pengupahan terus berjalan tanpa transparansi. Para pekerja akhirnya memilih mundur karena frustrasi dan tidak sanggup menanggung beban kerja tanpa kejelasan.

 

Pengakuan Indra bahwa pekerjaan berjalan sebelum adanya kontrak tertulis kian memperjelas praktik kerja CV KPA yang tidak sesuai ketentuan formal perusahaan konstruksi. Ia menegaskan tarif resmi borongan Rp45.000 per tiang, tetapi membenarkan adanya potongan sepihak dan keterlibatan pihak tidak resmi dalam skema pembayaran. Kontradiksi antara klaim manajemen dan kondisi lapangan memperlihatkan bahwa CV KPA menjalankan sistem kerja tanpa kerangka hukum, tanpa kontrol, dan tanpa perlindungan minimum terhadap pekerja.

 

Realitas ini semakin kontras dengan tragedi di STA 192 pada 20 November 2025, ketika seorang pekerja vendor PT AMSK tewas tenggelam dalam lumpur setelah crane terbalik. PT HKI melalui Sekretaris Perusahaan, Philadelphia H.H.P, mengaku sudah melakukan investigasi dan safety stand down. Namun pernyataan Plt Kadisnakertrans Riau, Roni Rakhmat, yang menyebut tidak pernah menerima laporan resmi HKI atas insiden fatal tersebut, menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana komitmen HKI terhadap kewajiban pelaporan insiden kerja, dan apakah pengawasan HKI terhadap vendor benar-benar berjalan atau hanya formalitas di atas kertas.

 

Temuan investigatif terhadap CV KPA menempatkan HKI pada posisi yang harus menjawab: mengapa vendor dapat menjalankan pekerjaan tanpa kontrak resmi, memotong upah tanpa dasar, membebankan APD kepada pekerja, dan mengabaikan prinsip dasar K3, padahal proyek ini adalah proyek strategis nasional yang seharusnya diawasi dengan ketat. Sistem borongan tidak transparan, pekerja bekerja tanpa perlindungan hukum, dan keselamatan berada di urutan paling belakang—semua ini menunjukkan adanya celah pengawasan yang mengancam integritas proyek secara keseluruhan.

 

Kondisi ini bukan lagi sekadar miskomunikasi teknis antara vendor dan pekerja. Ini adalah penanda adanya kegagalan struktural dalam rantai kerja HKI. Ketika vendor dapat bergerak tanpa SOP yang jelas, tanpa audit, tanpa standar keselamatan ketat, maka yang rusak bukan hanya manajemen vendor itu sendiri, tetapi juga kredibilitas HKI sebagai kontraktor utama yang mengklaim menempatkan K3 sebagai prioritas.

 

Rilis investigatif ini menegaskan bahwa praktik-praktik yang terungkap di lapangan bukan hanya bentuk ketidakprofesionalan, tetapi indikasi kuat pelanggaran regulasi ketenagakerjaan, UU K3, dan aturan dasar operasional proyek konstruksi. Pekerja tidak boleh dibiarkan bekerja dalam kondisi tidak aman, tanpa kontrak, tanpa upah layak, dan tanpa perlindungan hukum. Pelanggaran ini harus menjadi alarm keras bagi HKI, Disnakertrans Riau, dan seluruh otoritas pengawas terkait untuk segera melakukan audit menyeluruh dan penegakan sanksi bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab.

 

Dalam proyek sebesar Jalan Tol Lingkar Pekanbaru, yang berdiri atas nama pembangunan dan kepentingan publik, tidak ada ruang untuk praktik semu, pelanggaran prosedur, dan pengelolaan buram yang membahayakan keselamatan nyawa pekerja. Investigasi lanjutan wajib dilakukan, bukan hanya untuk menegakkan keadilan bagi para pekerja, tetapi memastikan bahwa proyek yang dibangun demi kepentingan publik tidak berdiri di atas praktik kotor dan ketidakadilan tersembunyi.

Komentar Via Facebook :

Berita Terkait